Hadas, Najis, dan Thaharah

Makalah Hadas, Najis, dan Thaharah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah praktikum ibadah
Dosen pengampu Nur Huri Mustofa, S.Ag., M.Si.



  

Disusun oleh:

Kelompok 2
1.      Lailatul Fitriyani (63020160128)
2.      Aditya Bagas Hartanto (63020160144)
3.      Pramesti Diana Putri (63020160161)


Program Studi Ekonomi Syariah
Program Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
2017




KATA PENGANTAR

            Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik sebagaimana yang kami harapkan.
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi  Muhammad SAW yang telah memberi petunjuk kepada umat manusia dimuka bumi dan menyempurnakan akhlak dan budi pekerti yang mulia. Kami juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami banyak menemukan kesulitan tetapi dengan ketekunan dan bantuan dari beberapa referensi buku dan internet sehingga makalah ini dapat tersusun.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat beberapa kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami mengharapkan kritik dan saran khususnya dari dosen pengampu mata kuliah praktikum ibadah yaitu Bapak Nur Huri Mustofa, S. Ag., M.Si serta para pembaca yang sifatnya membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Demikianlah kata pengantar yang dapat kami berikan daripada makalah ini, semoga makalah yang telah kami susun ini dapat memberikan manfaat.



Salatiga, 10 Sepetember 2017




Penulis                        


DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………... i
Daftar Isi…………………………………………………………………… ii
Bab I Pendahuluan.………………………………………………………… 1
1.1  Latar Belakang Masalah.…………………………………………... 1
1.2  Rumusan Masalah.…………………………………………………. 1
1.3  Tujuan Penulisan…………………………………………………… 1
Bab II Pembahasan………...………………………………………………. 3
2. 1 Hadas…………..………….………………………………………..            3
2.2  Najis……………..…………………………………………………. 4
2.3  Thaharah……..…………………………………………………….. 8
Bab III Kesimpulan……………………………………………………….   12
Daftar Pustaka……………………………………………………………… 13
















BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Allah mencintai sesuatu yang bersih dan suci. Maka manusia sudah selayaknya harus suci jika ingin menemui Allah. Dalam hukum Islam pembelajaran mengenai hadas, najis, dan thaharah adalah ilmu dan amalan yang penting karena syarat sah sholat telah ditetapkan bahwasanya seseorang yang melaksanakan sholat, wajib suci dari hadas maupun najis baik dari faktor badan pakaian, dan tempatnya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari sesuatu (barang) yang kotor dan najis sehingga thaharah dijadikan sebagai alat dan cara bagaimana mensucikan diri sendiri agar sah saat menjalankan ibadah.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apakah yang dimaksud dengan hadas, najis, dan thaharah?
1.2.2        Apa saja macam-macam hadas dan najis?
1.2.3        Bagaimana cara mensucikan hadas dan najis?
1.2.4        Apa saja alat yang digunakan bersuci dari hadas, najis, dan kotoran?

1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1        Tujuan Umum
Tujuan umum makalah ini adalah untuk memenuhi tugas praktikum ibadah mengenai hadas, najis, dan thaharah.
1.3.2        Tujuan Khusus
Tujuan khusus makalah ini diantara lain:
1)      Untuk dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan hadas, najis, dan thaharah.
2)      Untuk dapat mengetahuai apa saja macam-macam hadas dan najis.
3)      Untuk dapat mengetahui bagaimana cara mensucikan hadas dan najis.
4)      Untuk dapat mengetahui apa saja alat yang digunakan bersuci dari hadas, najis, dan kotoran.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Hadas
2.1.1        Pengertian Hadas
Menurut istilah hadas adalah keadaan seseorang tidak suci, sehingga menyebabkan ibadahnya tidak sah. Secara fisik hadas tidak dapat dilihat, tetapi secara hukum Islam dikategorikan sebagai najis. Hadas di golongkan sebagai najis hukmiyah (najis secara hukum).[1]
2.1.2        Macam-macam hadas
A.    Hadas kecil
Hadas kecil adalah keadaan seseorang tidak suci, sehingga menyebabkan ibadahnya tidak sah, agar ibadahnya sah seseorang tersebut menghilangkan hadas kecil dengan berwudlu.[2]
Hal-hal yang menyebabkan seseorang berhadas kecil adalah sebagai berikut:
1.      Sesuatu yang keluar dari dubur atau qubul
2.      Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan bukan muhrimnya.
3.      Hilang akal, baik disebabkan karena mabuk, gila, tidur atau sebab lainnya.
4.      Menyentuh kemaluan sendiri atau kemaluan orang lain dengan telapak tangan dan jari-jari bagian dalam.
B.     Hadas besar
Hadas besar adalah keadaan seseorang tidak suci, sehingga menyebabkan ibadahnya tidak sah, agar ibadahnya sah seseorang tersebut menghilangkan hadas besar dengan mandi.[3]
Hal-hal yang menyebabkan seseorang berhadas besar adalah sebagai berikut:
1.      Keluar mani atau sperma.
2.      Ketemunya kelamin laki-laki dan perempuan (bersetubuh).
3.      Haid
4.      Wiladah
5.      Nifas
6.      Meninggal dunia

2.2  Najis
2.2.1        Pengertian najis
Najis berasal dari bahasa arab نَجَسَةٌ dalam Al-Quran di sebutkan dengan kataرِجْسٌ
Artinya adalah suatu benda kotor yang mencegah sahnya suatu ibadah, karena saat beribadah seseorang harus dalam keadaan suci yang terbebas dari najis, seperti ibadah shalat dan tawaf.[4]
2.2.2        Macam-macam najis
A.    Najis mukhoffafah
Najis mukhoffafah adalah najis ringan. Cara mensucikan najis mukhoffafah yaitu sebagai berikut:
1.      Hilangkan terlebih dahulu dzat dan sifat-sifat air seni tersebut dengan cara dilap dengan kain.
2.      Selanjutnya, percikan air keseluruh tempat yang terkena najis hingga betul-betul merata, walaupun tidak mengalir.
Perlu diingat, tempat tersebut dapat menjadi suci, apabila percikan air dapat mmenghilangkan bau dan bekas air seni tersebut. Apabila tidak, maka tempat tersebut belum menjadi suci dan perlu dipercikan air kembali agar bau dan bekasnya betul-betul hilang.[5]

B.     Najis mutawasitoh
Najis mutawasitoh adalah najis sedang. Yang termasuk najis mutawasitoh adalah sebagai berikut:
1.      Bangkai binatang darat yang berdarah sewaktu hidupnya
Bangkai binatang adalah binatang mati karena tidak disembelih, atau disembelih tetapi tidak sesuai syariat Islam dan daging yang dipotong dari anggota tubuh binatang seperti memotong paha binatang. Seperti di terangkan dalam hadits sebagai berikut:
مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَةٌ فَهُوَ مَيِّتَةٌ (رواه ابو داود والتر مذى عن اي واقدالليشى)
Artinya: Daging yang dipotong dari binatang yang masih hidup termasuk bangkai (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dari Abu Waqid Al-Laisi).
Bangkai yang tidak termasuk najis adalah belalang, ikan, tanduk binatang, bulu, dan kulit binatang.
2.      Darah
Semua macam darah termasuk najis. Allah SWT berfirman:
حُرِمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّامُ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرُ (الما ئدة )
Artinya: Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi (Q.S. Al-Maidah:3)
Jika darah itu sedikit, maka dapat dimaafkan seperti darah nyamuk yang melekat pada badan atau pakaian, darah bisul, dan darah karena luka kecil.
3.      Nanah
Nanah pada hakikatnya adalah darah yang tidak sehat dan sudah membusuk. Baik nanah kental maupun cair hukumnya najis.
4.      Muntah
5.      Kotoran manusia dan kotoran binatang
6.      Arak (khamr)
Dilihat dari jenisnya najis mutawasitoh dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1.      Najis ainiyah yaitu najis mutawasitoh yang tampak wujudnya, warnanya, dan baunya. Contohnya adalah lantai yang terkena seni kucing, setelah lama dibiarkan, air seni tersebut mengering tanpa meninggalkan bau dan tidak berbekas. Nah, air seni kucing yang tidak berbekas itulah salah satu bentuk najis hukmiyah. Cara mensucikannya cukup dengan menyiramkan air pada tempat yang terkena najis tersebut.[6]
2.      Najis hukmiyah, yaitu najis yang diyakini adanya, tetapi sudah tidak kelihatan wujudnya, warnanya, dan baunya. Contohnya adalah air kencing yang sudah kering terdapat pada pakaian. Perlu diketahui, tidak boleh mensucikan benda yang terkena najis dengan cara memasukkannya kedalam air yang kurang dari 2 qullah, karena air tersebut akan ikut menjadi najis, sebab air yang kurang dari 2 qullah akan menjadi najis apabila kejatuhan najis, walaupun tidak berubah.[7]
C.     Najis mugholadhoh
Najis mugholadhoh (berat) adalah jenis najis yang paling berat, dikatakan berat karena cara mensucikanya berat. Yang termasuk najis mugholadhoh ini adalah air liur dan kotoran anjing atau babi. Cara mensucikannya adalah sebagai berikut:
1.      Basuhlah daerah yang terkena najis mugholladhoh dengan air sebanyak tujuh kali yang salah satunya dicampur dengan debu.
2.      Sebelum dibasuh, zat najis tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu, seperti kotoran anjing yang mengenai lantai, haruslah dihilangkan terlebih dahulu, baru setelah itu dibasuh.
Bisa juga dengan memasukkan benda yang terkena najis tersebut kedalam sungai yang keruh dan menggerakkannya sebanyak tujuh kali. Namun, sebaiknya debu tersebut dicampur pada basuhan yang pertama.
Perlu diperhatikan, membasuh benda yang terkena najis mugholladhoh haruslah hati-hati, diusahakan jangan sampai percikannya mengenai benda lain disekitarnya. Apabila sampai mengenai benda lain disekitarnya maka bagian yang terkena najis itu harus disucikan pula.
Apabila percikan tersebut dari basuhan yang pertama, maka, benda yang terkena percikan tersebut harus dibasuh sebanyak enam kali. Apabila dari basuhan yang kedua, maka, harus dibasuh sebanyak lima kali, dan seterusnya.
Basuhan untuk mensucikan benda yang terkena percikan tersebut tidak perlu dicampur debu, apabila percikan tersebut tidak  perlu dicampur dengan debu atau sebelumnya telah dicampur dengan debu. Apabila tidak demikian, maka perlu mencampurnya dengan debu.
Rasulullah SAW bersabda:
طَهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدُكُمْ اِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبَ اَنْ يُغْسِلُهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ اَوْلاَهُنَّ بِاالتُّرَابٍ (رواه مسلم عن ابى هريرة)
Artinya: “Cara mensucikan bejana salah seorang di antara kamu, apabila dijilat anjing hendaklah dibasuh tujuh kali, air pertama hendaklah di campur dengan tanah”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).






2.3  Thaharah
2.3.1        Pengertian thaharah
Thaharah berasal dari bahasa arab (اطل ه اتر) yang sama artinya dengan(ال نظا ف ة)  yaitu bersih, kebersihan atau bersuci. Sedangkan menurut istilah syariat Islam thaharah adalah suatu kegiatan bersuci dari hadas sehingga seseorang diperbolehkan melaksanakan ibadah. Kegiatan bersuci dapat dilakukan dengan berwudlu, tayamum, mandi, istinja’, dan  bersuci membersihkan badan, pakaian, dan tempat.[8]
2.3.2        Pembagian thaharah
Dilihat dari segi sifatnya, thaharah dapat kita bedakan menjadi dua yaitu: bersuci yang sifatnya lahiriah dan bersuci yang sifatnya batiniah. Yang termasuk bersuci bersifat lahiriah adalah membersihkan badan, pakaian, dan tempat tinggal atau lingkungan kita dari segala bentuk kotoran (najis). Adapun bersuci yang sifatnya batiniah adalah membersihkan dan mensucikan jiwa dari kotoran batin yang berupa dosa dan maksiat.[9]
Bersuci yang bersifat lahiriah dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1.      Bersuci dari hadas artinya membersihkan badan kita dengan cara wudlu atau mandi.
2.      Bersuci dari najis artinya membersihkan segala macam kotoran (najis) baik yang terdapat pada benda seperti pakaian, tempat, alat-alat makan minum, dan sebagainya sesuai dengan  ketentuan syariat Islam.
2.3.3        Macam-macam alat yang digunakan bersuci dari hadas, najis, dan kotoran
Alat bersuci yang ditetapkan oleh syariat Islam ada tiga diantaranya adalah sebagai berikut:


1.      Air
Alat bersuci yang paling utama adalah air, namun tidak semua jenis air sah digunakan bersuci. Air yang dapat digunakan bersuci adalah sebagai berikut:
a.       Air hujan
b.      Air laut
c.       Air sungai
d.      Air sumur
e.       Air dari mata air
f.        Air salju
g.      Air embun
2.      Debu
Debu yang sah untuk bersuci adalah debu yang suci dan kering, debu semacam ini biasanya ada di tanah kering, pasir, lembah, dibalik tikar, dan lain-lain. Debu dapat dipergunakan untuk bersuci yang disebut tayamum.
3.      Batu dan benda-benda kasar lainya
Selain air benda-benda yang dapat digunakan beristinja’ adalah batu, kayu, daun kering, kertas, tisu, dan lain-lain.
2.3.4        Macam-macam air
1.      Air mutlak
Air mutlak adalah air yang masih asli belum tercampur dengan benda lain dan tidak terkena najis, air mutlak disebut juga air thair mutahir (suci dan mensucikan) air ini hukumnya suci dan dapat digunakan untuk bersuci.[10] Diantaranya sebagai berikut:
a.       Air yang masih murni, macam-macamnya adalah air hujan, salju, air embun, dan air dari mata air.
b.      Air laut, sama dengan air jenis yang pertama bahkan bangkai binatang laut halal dimakan dalam hadits Rasulullah SAW.

c.       Air telaga atau danau
d.      Air kolam, air sungai, air genangan yang cukup besar termasuk Sawah, dan lain sebagainya.
2.      Air musta’mal
Air musta’mal adalah air suci tetapi tidak dapat untuk mensucikan, air ini disebut juga air tahir goiru mutohir (suci tidak mensucikan).[11]
Jenis air musta’mal ada 3 macam yaitu sebagai berikut:
a.       Air suci yang sudah dicampur dengan benda suci lainya sehingga air itu sudah berubah salah satu sifatnya (warna, rasa, dan baunya). Contohnya air kopi, air teh, dan lain-lain.
b.      Air yang ukuranya kurang dari dua qullah, yang sudah digunakan untuk bersuci walaupun tidak berubah sifatnya atau airnya cukup dua qullah yang sudah digunakan untuk bersuci dan telah berubah sifatnya.
c.       Air buah-buahan atau air yang ada di dalam pohon misalnya pohon jambu, air kelapa dll.
3.      Air musyamas
Air musyamas adalah air yang dipanaskan di terik matahari dalam bejana. Air ini disebut juga air makruh, air ini makruh digunakan karena dikhawatirkan menumbulkan penyakit.[12]
Rasulullah SAW bersabda:
رُوِىَ عَنْ عَا ئِسَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا اَنَّهُ سَخُنْتَ مَاءً فِى الشَّمْسِ فَقَا لَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تُفْعَلىِ يَا حُمَيْرَاءَ فَاءِنَّهُ يُوَارِثُ الْبَرَصَ (رواه البيهقى)
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah r.a sesungguhnya ia memanaskan air pada sinar matahari maka Rasulullah SAW bersabda: Janganlah engkau berbuat seperti itu hai Humairah sesungguhnya yang seperti itu akan menimbulkan penyakit baras (sopak) (HR. Baihaqi).
4.      Air mutanajis
Air mutanajis adalah air yang tadinya suci kurang dari dua qullah, tetapi terkena najis dan belum berubah salah satu sifatnya (warna, bau, dan rasanya). Air seperti ini hukumnya najis, tidak boleh dipergunakan uuntuk wudlu, mandi atau mensucikan benda yang terkena najis.[13]
Rasulullah SAW bersabda:
اَلْمَاءُ يُنْجِسُهُ شَيْئً اِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَى طَعْمِهِ أَوْ لَوبِهِ أَوْرِيْحِهِ (رواه البيهقى)
Artinya: “Air itu tidak dinajisi sesuatu, kecuali telah merubah rasanya, warnanya atau baunya tetapi apabila sebaliknya airnya banyak walaupun terkena najis tetapi tidak berubah salah satu sifatnya hukumnya tetap suci mensucikan. (HR. Baihaqi).
Keterangan:
Air dua qullah = lebar 60 cm x panjang 60 cm  x tinggi 60 cm
                        = 216 L



BAB III
KESIMPULAN

Menurut istilah hadas adalah keadaan seseorang tidak suci, sehingga menyebabkan ibadahnya tidak sah. Secara fisik hadas tidak dapat dilihat, tetapi secara hukum Islam dikategorikan sebagai najis. Hadas di golongkan sebagai najis hukmiyah (najis secara hukum). Hadas dibagi menjadi dua yaitu hadas kecil dan hadas besar.
Najis adalah suatu benda kotor yang mencegah sahnya suatu ibadah, karena saat beribadah seseorang harus dalam keadaan suci yang terbebas dari najis, seperti ibadah shalat dan tawaf.
Thaharah menurut istilah syariat Islam adalah suatu kegiatan bersuci dari hadas sehingga seseorang diperbolehkan melaksanakan ibadah. Kegiatan bersuci dapat dilakukan dengan berwudlu, tayamum, mandi, istinja’, dan  bersuci membersihkan badan, pakaian, dan tempat.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Ash Shiddieqy, Hasbi. 1994. Kuliah Ibadah ditinjau dari segi Hukum dan Hikmah. Jakarta: Bulan Bintang.
2.      Hakim, Syaikhul. Fiqh Ibadah. Jawa Timur: Lembaga Ta’lif Wannasyr.
3.      Sutoyo. Fiqih Al Huda. Surakarta: Pratama CV.



[1] Sutoyo. Fiqih Al Huda. Surakarta: Pratama CV. Hlm. 8
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid, Hlm. 6
[5] Ash Shiddieqy, Hasbi. 1994. Kuliah Ibadah ditinjau dari segi Hukum dan Hikmah. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 87.
[6] Ibid. Hlm. 89
[7] Ibid
[8] Sutoyo. Fiqih Al Huda. Surakarta: Pratama CV. Hlm. 3
[9] Ibid. Hlm. 4
[10] Hakim, Syaikhul. Fiqh Ibadah. Jawa Timur: Lembaga Ta’lif Wannasyr. Hlm 24.
[11] Ibid
[12] Ibid. Hlm. 25
[13] Ibid

Komentar

  1. Casino Baccarat, Craps, Roulette - FEBCASINO
    It's been over three decades since I came here. 메리트 카지노 고객센터 If you haven't 바카라사이트 played casino baccarat, you probably know the difference. If you 샌즈카지노 have been around, you

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah B.Arab BAB Taukid

Resep Nasi Goreng Sederhana